Pentingnya Menulis Biografi Pahlawan Lokal : KH Gazali Qadhi

 

        Tadi malam penulis menghadiri peringatan haul Alimul Fadhil KH Gazali Qadhi Al Banjari. Beliau adalah salah satu ulama yang berpengaruh dalam perjuangan orang banjar melawan penjajah. KH Gazali Qadhi Al Banjari masih keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dengan rincian sebagai berikut :

    KH Gazali Qadhi bin KH Muhammad Sa'id bin Syekh H. Muhammad Thayyib/ Syekh Sa'dudin Taniran bin Syekh Muhammad As'ad bin Puan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliau berkubur di Taniran Kubah ( Halaman Masjid As-Sa'adah Taniran). Diantara jasa beliau yang penulis dengarkan tadi malam adalah beliau memprakarsai renovasi Masjid Baiturahmah pasar yang dulunya bernama Masjid Jami di Kabupaten Tapin.



        Beliau juga aktif dalam dunia pendidikan dengan mendirikan Pendidikan Guru Agama Pertama atau PGAP yang merupakan satu-satunya pada saat itu sekolah Guru Agama di wilayah Rantau, Kandangan, dan Barabai. Memang wajar saja beliau dapat membangun pendidikan pada saat itu, karena beliau sejak umur 12 tahun sudah dikirim orangtuanya untuk belajar ilmu agama ke Makkah.

     Pendidikan formal beliau selama di Makkah adalah di Madrasah Shaulatiyah. Beliau juga mengenyam pendidikan secara non formal dan mendapatkan ijazah dari 3 guru beliau diantaranya adalah 

1. Syekh Sayyid Amin Qutby.

2. Syekh Abdul Latief.

3. Syeikh Ubaidillah dari Turki.

        Disamping ulama beliau juga politisi handal. KH Gazali Qadhi ikut bergabung di SERMI (Serikat Muslimin Indonesia) dan Partai Politik Masyumi. KH Gazali Qadhi merupakan satu-satunya ulama yang terjun ke politik pada masa transisi orde lama ke orde baru. Setelah orde baru berkuasa penuh, dan beliau tidak aktif lagi, mulailah generasi ulama berikutnya ikut andil dalam peta politik di Kabupaten Tapin.

       Dari biografi singkat ini kita dapat melihat bahwa seyogyanya seorang guru harus bermanfaat bagi sekitar dengan ilmu yang dimilikinya. Terlihat dari kontribusi beliau kepada masyarakat sekitar itu adalah karya beliau.Bahkan ketika saat tertentu, kita dianjurkan untuk terjun ke politik agar dapat memperjuangkan gagasan/ide yang dikehendaki oleh masyarakat dan tentunya adalah Islam.

        Dari beliau juga kita dapat belajar mengenai cinta tanah air. Ketika bangsa kita dijajah beliau ikut bergabung dengan pasukan pada tanggal 9 November 1945. Peristiwa penyerangan dan pengrusakan motor-motor Belanda di Banua Padang yang dalam peristiwa tersebut gugur pejuang Tapin yakni Tasan dan Ahmad Panyi. Pada saat itu, beliau menyatakan dihadapan pasukan lainnya bahwa "yang gugur ini mati syahid, orang yang mati syahid dalam membela Tanah Air dan Agama, disembayangkan tanpa dimandikan dengan berkafankan pakaian yang ada sebagai saksi di hadapan Allah SWT sebagai syuhada".

          Dari beliau kita juga dapat belajar bahwa menjadi apapun kita dapat berkontribusi untuk kebaikan masyarakat sekitar. Beliau diangkat menjadi Qadhi selama 9 tahun dimulai dari 29 September 1941- 31 Oktober 1950, setelah itu beliau diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tapin Utara sejak 1 November 1950-1 November 1967 selama 16 tahun. Lalu beliau diangkat sebagai Kepala Perwakilan Kementrian Agama Kabupaten Tapin merangkap sebagai Kepala Dinas Urusan Agama Kabupaten Tapin hingga beliau meninggal dunia tanggal 23 Februari 1971.

        Sekarang di bumi sudah hidup sekitar 8 Milliar jiwa. Manusia saling menggali ilmu kepada manusia yang masih hidup tersebut. Tetapi apakah kita tidak bisa belajar dari ratusan milliar orang yang sudah tertanam di dalam tanah ini ? Tentu sangat bisa. Oleh karena itu amaliah berupa haul ini harus dilestarikan agar ide/gagasan/perjuangan dari tokoh yang sudah tiada di bumi tersebut dapat kita lestarikan dengan modifikasi sesuai zamannya.

            Penulis jadi teringat perkataan Cak Nun bahwa cara kita mengenal diri kita salah satunya adalah mengetahui asal usul kita. Bukan untuk pamer atau bangga-banggaan, tetapi dapat mengambil makna pelajaran yang bisa disesuaikan dengan zaman sekarang. Puncaknya adalah kita tahu arah perjuangan jati diri kita. Ketidaktahuan tentang asal usul itu yang membuat kita tidak mempunyai cita-cita sebagai bangsa yang satu. Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus mempunyai cita-cita besar. 

 "Pada tahun 1970-an, orang masih punya ruang untuk ingat hingga lima abad yang lalu. Orang-orang masih berpikir tentang Brawijaya, Raden Fatah, Sultan Hadiwijaya, dan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1980-an ruang berpikir itu menyempit, hanya mampu mengingat 50 tahun kebelakang. Generasi itu hanya mengingat hingga angkatan 1928 atau 1945. Tahun 1990-an ingatan itu semakin menyempit, tinggal lima tahun. Sedangkan orang tahun 2000-an, lima hari yang lalu saja sudah lupa, bahkan berita tiga harui yang lalu sudah lupa.

( Cak Nun)


            Oleh karena itu disamping kita menyelenggarakan haul untuk mengingat jasa-jasa tokoh ulama lokal kita, penerus bangsa perlu mengabadikan juga dalam bentuk tulisan. Agar semangat perjuangan yang digelorakan oleh beliau dapat kita teruskan dengan menyesuaikan arah perkembangan zaman. Dan generasi berikutnya tidak melupakan sejarah hebat yang dibangun oleh tokoh-tokoh hebat pada zamannya. 

Komentar