Hari kedua di Bulan Juni bertepatan dengan Hari Jum'at. Kebetulan penulis bertugas sebagai bilal(tukang adzan) di Masjid An Noor di Desa Parigi Kecamatan Bakarangan Kabupaten Tapin. Masjid An Noor adalah salahsatu masjid di Kabupaten Tapin yang dijadikan cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1992 tentang perlindungan benda cagar budaya dan No.11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. Dimasjid ini cukup unik ketika melaksanakan kegiatan Jum'at karena khutbahnya masih mempertahankan warisan ulama terdahulu dengan menggunakan bahasa arab. Dapat dikatakan ini adalah kabupaten yang bernuansa Internasional. Sebenarnya masih ada satu masjid lagi di Kabupaten Tapin yang masih menggunakan khutbahnya dalam bahasa arab yakni Masjid Keramat Al Mukarramah Banua Halat.
Penulis menyadari bahwa sekolah telah menyiapkan muridnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Dengan dibangunnya masjid yang sekaligus menjadi arena pembelajaran. Betapa tidak berapa banyak muadzin atau bilal yang lahir dari fasilitas tempat ibadah yang dihadirkan ditengah lingkungan persekolahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa pendidikan tidak boleh lepas dari akar kebudayaan setempat. Dan jangan seperti yang dikatakan oleh Paolo Freire bahwa pendidikan terhalang oleh ruang kelas, antara dunia kelas dan dunia masyarakat ada tembok pembatas yakni sekolah. Padahal kita mengetahui bahwa pendidikan diciptakan untuk mengisi kegiatan bermasyarakat kelak serta dapat memberikan beragam solusi ditengah problematika masyarakat. Dalam bahasa agama bahwa ilmu itu harus bermanfaat luas.
Penulis termasuk sedih ketika sebagai Guru Pendidikan Agama Islam di sebuah SMA terfavorit di Kabupaten tetapi hanya memiliki sebuah mushola yang tidak mungkin menampung 500an peserta didik. Padahal kita tahu bahwa pada Pancasila dikatakan nomor 1 dalam pendidikan itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang mana segala kegiatan harus berlandaskan agama. Berapa banyak siswa yang meninggalkan shalat dhuzur berjamaah dan shalat ashar berjamaah jika sekolah tidak memfasilitasi hal ini dengan serius. Bahkan didalam Profil Pelajar Pancasila dikatakan bahwa nomor 1 dalam menciptakan karakter Pancasila adalah Beriman, Bertaqwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia. Bagaimana mungkin menciptakan generasi yang beriman dan bertaqwa tetapi fasilitas disekolah tidak mendukung hal untuk melakukan hal tersebut,padahal hal itu adalah dasar untuk kepada tahap selanjutnya? Bagaimana mungkin seorang murid dapat beriman dan bertaqwa jika shalatnya saja tidak diperhatikan dalam bentuk fasilitas yang memadai sesuai dengan jumlah muridnya?
Penulis kebetulan sekarang menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Sarana dan Prasana, alhamdulilah dimulai tahun 2022 pihak sekolah dan komite selalu berkoordinasi mengenai perihal fasilitas mushola yang sempit ini. Kami terus berupaya agar sekolahan memiliki mushola yang layak dan sesuai kapasitas muridnya dengan mengirimkan proposal kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan. Tetapi hingga saat ini belum ada jawaban dari pemangku kebijakan yang terkait. Maka penulis menyarankan agar seluruh SMA/SMK yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan ini musholanya diperluas sesuai dengan kapasitas muridnya. Agar kegiatan keagamaan berupa shalat berjamaah dapat diakomodir dengan baik oleh sekolah.
Disisi lain sekarang ramai terkait "Moderasi Beragama". Karena sekolahan adalah lembaga umum,maka penulis menyarankan jika perlu pemerintah menyiapkan juga tempat ibadah untuk non muslim sesuai dengan kapasitas muridnya. Sebagaimana di bandara ,ketika penulis di bandara Turki , tempat ibadah semua agama ada walau kecil, tersedia di fasilitas umum tersebut. Agar mereka jika kristen, menjadi orang kristen yang ideal, jika mereka hindu maka menjadi orang hindu ideal, jika mereka budha maka ia menjadi orang buddha yang ideal dan lain-lain. Karena Indonesia terbentuk dari semua gabungan unsur-unsur tersebut. Dan perkara menerima perbedaan itu sudah selesai dari zaman nenek moyang kita yakni Kerajaan Majapahit. Buktinya adalah keberadaan Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bahkan masuknya misionaris kristen ( Ottow dan Geissler) ke Papua yang dulunya bernama Nuu Waar pun yang memfasilitasi adalah seorang tokoh Muslim kerajaan Tidore dan Salawati didalam buku berjudul " Muslim Papua Membangun Harmoni Berdasar Sejarah Agama di Bumi Cendrawasih" karya dari Dhurorudin Mashad pada halaman 135. Apalagi sekarang mulai masuk tahun politik, maka untuk politisi jangan sampai SARA menjadi jualan politik yang mengakibatkan perpecahan dan pertumpahan darah di Republik Indonesia.
"Bangunlah jiwanya bangunlah badannya" bagian lirik dari lagu Indonesia Raya ini seharusnya menjadi pedoman bagi stakeholder atau pemangku kebijakan dalam melakukan rangkaian kebijakan untuk pendidikan secara umum. Sentra pendidikan ada 3 yakni rumah, sekolah, dan masyarakat. Maka pendidikan di rumah oleh keluarga harus selalu dikampanyekan, karena banyaknya problematika disekolah terjadi biasanya diawali dengan lingkungan rumah yang tidak aman dan tidak nyaman bagi murid. Maka perlu dibangun juga jiwa untuk peduli terhadap pendidikan yang bukan hanya ketika seorang murid sudah di sekolah berarti lepas tanggung jawab orangtua. Orangtua justru harus selalu tahu perkembangan anaknya. Bahkan kesamaan visi antara sekolah dan rumah juga perlu dibangun. Disekolah digiatkan untuk kegiatan shalat tetapi ketika dirumah mereka tidak dibimbing untuk melakukan shalat, maka pendidikan tersebut percuma. Maka kerjasama dalam hal kesamaan visi misi harus mulai dibangun dari pihak rumah dan sekolahan agar kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang berkualitas. Yuk kita semua memiliki jiwa pembelajar sepanjang hayat.
Setuju , Salah satu pemikiran dari Bapak KHD adalah didiklah murid sesuai kodrat alam dan zamannya. Tanpa meninggalkan bidaya sekitar. Mantap Pa Edmu ..makin kereen tulisannya
BalasHapusSiaap ibu...bimbingan dan doanya selalu yaa ibuu. Semoga istiqomahh
Hapus