Alhamdulilah hari ini Jum'at 5 Mei 2023 merupakan hari yang istimewa karena disekolah kami melakukan pengukuhan dan pelepasan siswa-siswi kelas XII. Selama 3 tahun mereka bersekolah, walaupun 2 tahun pembelajaran dilanda dengan covid, dan hanya 1 tahun mereka bertatap muka sehingga acap kali mereka masih dikatakan lulusan pasca covid. Mereka hadir bersama orangtuanya di aula sekolah, walaupun sebagian orangtuanya tidak datang mungkin ada kesibukan lainnya sehingga tidak bisa menghadiri kegiatan ini. Padahal menurut penulis, sekecil apapun kehadiran orangtua murid itu merupakan bentuk kepedulian terhadap pendidikannya anak dan akan berdampak besar bagi pertumbuhan sang anak. Apalagi lulus di tingkat SMA/SMK sederajat ini adalah langkah awal bagi kehidupan si anak untuk berkontribusi lebih banyak untuk aktualisasi diri dengan menggapai cita-citanya serta untuk mengabdikan diri ditengah-tengah masyarakat.
Dalam Islam sekolah pertama bagi anak-anaknya adalah orangtua atau keluarganya. Bahkan pendidikan Islam memberikan pendidikan untuk calon anak-anak yang akan lahir adalah dari ketika orangtuanya memilih pasangan. Maka keberhasilan anak dalam menempuh pendidikan dan sukses dalam kehidupan itu tidak terlepas dari sang ayah ketika memilih ibunya menjadi pasangan. Karena Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya sedangkan Ayah adalah kepala sekolah pertama sang anak. Kolaborasi Ayah dan Ibu dalam menciptakan anak yang berpendidikan serta berakhlak itu merupakan kewajiban yang harus selalu dikembangkan. Tanpa kesatuan visi dan misi dalam mengarahkan anak, memperhatikan fisik maupun rohani anak, maka itu adalah hal yang sia-sia. Padahal kita mengetahui Nabi Muhammad SAW pernah berkata 3 hal yang tidak membuat terputusnya amal ketika seseorang meninggal salahsatunya adalah doa anak yang shaleh/shalehah. Maka menciptakan anak yang shaleh/shalehah merupakan hal yang utama dalam pendidikan anak didalam keluarga tersebut. Seperti perkataan Gus Baha bahwa anak adalah aset untuk melanjutkan sujud kita, kepada Allah SWT, dan melanggengkan kalimat tauhid di muka bumi ini.
Maka ironis sekali jika orangtua melepaskan begitu saja pendidikan anaknya ke sekolah tanpa ikut hadir serta peduli pada pendidikan si anak di sekolahan. Sebagaimana penitipan anak, orangtua tidak mau tahu-menahu tentang perkembangan pendidikan anaknya, pendidikan akhlak anaknya, pendidikan ibadah anaknya di sekolah yang penting dari segi ekonomi sudah terpenuhi dan dianggap sudah selesai dalam melakukan pendidikan. Bahkan lebih parahnya lagi terjadi kontradiksi pendidikan disekolah dengan pendidikan di rumahnya. Contohnya adalah ketika disekolah si anak diwajibkan untuk melakukan shalat dhuzur dan ditekankan untuk melaksanakan shalat 5 waktu, tetapi ketika si anak pulang kerumah, tidak ada yang mengerjakan kewajiban ini baik dari anaknya maupun orangtua. Contoh lainnya ketika di sekolah digalakkan untuk mengaji Al Qur'an setiap hari,setiap pagi, tetapi dirumah mereka dan orangtua sama sekali tidak melakukan hal tersebut. Disinilah letak kontrakdiksi tersebut. Sekolah dan rumah seakan-akan ada tembok pemisah dalam pendidikan.
Untuk abad ke 21 ini harusnya antara sekolah dengan orangtua harus terintegrasi dalam hal pendidikan anaknya. Orangtua tidak melepaskan begitu saja mengenai pendidikan si anak, tetapi ikut berkolaborasi dengan pihak sekolah untuk ikut membiasakan pendidikan yang diajarkan disekolah maupun dirumahnya. Jadi hilanglah stigma bahwa orangtua yang dipanggil kesekolah selain dari awal sekolah atau rapat komite maupun menerima rapot anaknya adalah siswa yang bermasalah. Malah harusnya orangtua harus sering kesekolah untuk berkonsultasi dan berdiskusi mengenai perkembangan anaknya. Karena pada abad ini kita mengetahui bahwa terjadi tsunami informasi di handphone anak-anak yang membuat anak mencari alternatif nilai-nilai yang dianutnya walaupun tidak sesuai dengan ajaran agama ataupun norma yang berlaku di masyarakat. Disitulah kehadiran guru dan orangtua dalam meminimalisir nilai--nilai kurang baik yang di percayainya.
Didalam buku Matinya Pendidikan karya Neil Postman pada halaman 176 bahwa "para guru sebagai pendeteksi-pendeteksi kesalahan muridnya adalah orang yang berharap bisa meningkatkan kecerdasan para muridnya dengam membantu mereka untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam pengetahuan dan keterampilan-keterampilam mereka, sebagaimana dokter yang memiliki konsepsi tentang apa yang disebut dengan kesehatan yang baik, tetapi keahlian-keahlian mereka terletak pada kemampuan mereka untuk mengindentifikasi hal-hal yang merusak kesehatan dan memberikan pengobatan terhadapnya. Maka peran seorang guru adalah sebagai penawar rasa sakit, yaitu orang yang memiliki tujuan untuk menolong para murid dari beban-beban kesalahan, dalam fakta-fakta, kesimpulan-kesimpulan, opini, keterampilan atau prasangka buruk mereka."
Dalam hubungannya dengan kultur kita pernyataan diatas bisa diadopsi oleh guru disekolah dan orangtua di rumah. Inti dari hal diatas tadi adalah adanya upaya dialog secara berkelanjutan antara guru, orangtua dan murid. Sehingga kesalahan yang bisa dilihat dari akhlak bersosialisasinya dengan teman maupun guru atau masyarakat bisa diminimalisir. Maka guru maupun orangtua harus proaktif dalam menemani proses pertumbuhan pendidikan murid. Walaupun membuat si anak menjadi beriman kepada Allah SWT, cerdas dalam intelektual, berakhlak, dan mampu bersosialisasi dengan kaloborasi itu merupakan proses yang tidak instan, tetapi hal itu dapat dimulai sedini mungkin untuk menciptakan iklim sekolah yang memiliki jiwa pembelajar, semangat, bahagia, dan harapan-harapan lainnya.
Tentu hal ini merupakan pengabdian sang guru untuk mensedekahkan waktunya untuk selalu siap berkomunikasi dengan orangtua dan murid, tetapi keyakinan penulis adalah ketika kita dengan sungguh-sungguh mendidik anak orang lain maka Allah SWT akan menghadirkan berbagai cara untuk menjadikan anak kita sebagai penyejuk jiwa yang menjadi orang lebih baik, dan lebih manfaat ilmunya, itulah yang disebut dengan berkah. Mari kita bangun kerjasama antara pihak sekolah, rumah, dan masyarakat dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas dan berkah dunia akhirat. Akhirnya sekolah bukanlah penitipan anak tetapi tempat menyenangkan untuk kolaborasi pendidikan bagi si anak.
Komentar
Posting Komentar