Alhamdulilah hari ini mendarat buku Antologi kedua saya dari kurator Ibu Arofiah Afifi dengan judul "Sentuhan Kasih Sang Pahlawan" yang berkisah mengenai catatan dan kenangan bersama seorang ayah. Antologi ini adalah salahsatu menulis keroyokan yang dijadikan sebagai latihan untuk membiasakan keterampilan menulis. Dan dalam 1 bulan kedepan kita akan fokus membahas dalam kaitannya dengan tema pendidikan karena anggap saja bulan Mei ini adalah bulan pendidikan. Maka daripada itu jangan pesimis jika hingga saat ini belum ada tulisan yang dihasilkan oleh bapak/ibu guru menjadi sebuah buku karyanya. Karena yang dibutuhkan adalah semangat memulai, insyaAllah banyak jalan, dan cara akan menghampiri. So, jangan pesimis terlebih dahulu, mulai saja.
Tentu dalam menulis sesuatu kita harus memiliki banyak wawasan terkait apa yang akan kita utarakan, maka daripada itu ketika KBMN (Kelas Belajar Menulis Nusantara) dikatakan salahsatu hal yang dapat memperlancar menulis adalah banyak membaca buku. Mustahil rasanya jika kita tidak banyak membaca bisa menghasilkan tulisan. Maka disamping memulai menulis maka mulailah banyak membaca buku terkait pendidikan. Membaca dan menulis adalah hal yang wajib bagi seorang guru, karena dia adalah guru. Maka ironis sekali jika guru tidak pernah membaca apapun maka pembelajaran yang dihadirkan kepada muridnya akan tidak bermakna, apalagi mudah termakan hoax dan hanya mengedepankan kebencian semata. Seperti kata pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari yang maknanya segala tingkah laku yang dihadirkan didalam ekosistem sekolah itu akan dicontoh oleh murid. Jika gurunya tidak rajin membaca, tidak mempunyai tulisan yang menginspirasi maka kualitas muridnya bisa saja lebih rendah daripada itu, maka pendidikan berjalan diatas tidak kebermaknaan.
Saya sejak sebulan lalu sudah membaca buku yang beraliran kritis terhadap pendidikan, diantaranya buku Manusia tanpa Sekolah karya Rony K. Pratama, Pendidikan Rusak-Rusakkan karya Ki Darmaningtyas dan Matinya Pendidikan karya Neil Postman. Bagi saya membaca buku seperti ini adalah menambah wawasan agar kita ketika menjadi guru tidak berada di zona nyaman. Karena ternyata masih banyak yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan kita. Kontribusi kecil yang kita berikan kepada pendidikan, itu akan berdampak besar untuk sistem pendidikan yang lebih baik kedepannya. Adapun memang kita juga harus kritis dalam membaca suatu buku agar tidak menelan mentah-mentah dengan membandingkannya dengan dunia realitas serta buku yang lebih relevan, maka tidak semua isi buku dapat kita praktikkan kedalam pembelajaran tetapi apa yang kita baca mengandung manfaat dan baik maka praktikkanlah agar tidak hanya sekedar membaca belaka.
Seperti kritikan dari buku karta Rony K. Pratama ini pada halaman 211 mengatakan bahwa seyogyanya lebih baik pendidikan karakter tak digelorakan pada tataran jargon, melainkan pada ranah laku alias praktik sehari-hari. Jika dikaitkan dengan kurikulum sekarang maka lebih baik kurikulum merdeka bukan hanya slogan belaka tetapi harus memang dipraktekkan pada pembelajaran. Bagaimana kita tahu mengenai kurikulum merdeka jika seorang guru tidak mengkaji dengan holistik penjelasan mengenai kurikulum merdeka ? Apakah hanya dengan video yang dishare di gurp beberapa menit dapat menyimpulkan mengenai konsep kurikulum merdeka ? Berapa penelitian yang sudah kita baca mengenai kurikulum merdeka ini ? ini yang harus direnungi bersama. Karena seorang guru harus memverifikasi dahulu, menyaring informasi terlebih dahulu berdasarkan fakta bukan hanya opini apalagi berita yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Makanya saya pribadi sejak setahun lalu mensedekahkan waktu untuk ingin mengetahui merdeka belajar melalui Paltform Merdeka Mengajar yang digagas oleh Kemdikbudristek untuk meningkatkan kompetensi guru dengan mudah, fleksibel waktu. Yang saya rasakan beberapa manfaatnya adalah
1. Makin terbuka wawasan saya mengenai kurikulum merdeka bahwa zaman sekarang guru menjadi fasilitator bukan sumber satu-satunya dalam menyampaikan pelajaran. Karena perubahan paradigma tersebut, maka setiap guru harus makin banyak belajar terkait materi yang akan diajarkan dan holistik(menyeluruh) agar bisa mengarahkan murid dengan lebih baik bukan berarti menyerahkan murid kepada google dan aplikasi semacamnya saja serta dilepas begitu saja berselancar mencari materi tanpa ada skill verifikasi maupun klarifikasi.
2. Mulai memahami bahwa sebagus apapun metode pembelajaran,bahkan aplikasi digital yang diberikan jika murid tidak mempunyai "Penasaran" kepada materi yang diajarkan, maka kita sejatinya hanya menjajalkan pengetahuan, memaksakan pengetahuan bukan karena dasar kebutuhan murid kita memberikan pengetahuan tersebut . Maka daripada itu sebisa mungkin guru yang mengajar bisa selalu menghubungkan dengan dunia sehari-hari si murid apapun mata pelajarannya dan dapat langsung dipraktikkan kedalam kehidupan sehari-harinya, jangan sampai sekolah membuat paradoks antara dunia sekolah dan dunia nyata.
3. Kemudahan untuk seorang guru mendapatkan informasi mengenai kompetensinya yang dibutuhkan didalam kelas. Karena hanya dengan PMM kita mengetahui maksud dan tujuan dari merdeka belajar itu dibuat. Waktu yang fleksibel untuk diakses dan bukan hanya sekedar kita mendengarkan saja tetapi ada aksi nyata yang dibuat agar ilmu dan praktek berjalan dengan seimbang sehingga dapat dirasakan oleh murid.
Tetapi disamping manfaat tersebut memang ada kekurangannya jika kita tidak memahami hakikat merdeka belajar tersebut secara menyeluruh diantaranya :
1. Kita akan hanya fokus kepada hal-hal yang teknis saja seperti lebih fokus kepada aplikasi digital dibandingkan kebutuhan murid tersebut. Dan tidak mau tahu mengenai puncak gunung es persoalan pendidikan yang cenderung kompleks.
2. Kita akan hanya fokus mengejar hal-hal administrasi saja yang penting sudah mengerjakan dengan tumpukan laporan P5 yang pada praktik dilapangannya hanya sesuai dengan keinginan gurunya saja tetapi tidak melihat kebutuhan muridnya. Akhirnya makna belajar itu sendiri hilang dan sia-sia.
3. Di halaman 220 dalam buku Manusia Tanpa Sekolah dijelaskan bahwa guru menjadi tidak fokus dalam proses pembelajarannya melainkan hanya transfer pengetahuan. Belajar semestinya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekslplorasi kegemaran melalui aktualisasi diri. Di situ letak kebebasan anak. Merdeka belajar, dengan kata lain, memfasilitasi anak. Bukan malah mengondisikan anak dengan segenap konsep yang mengekang.
Maka dalam buku ini pada halaman 222 disarankan lagi kepada pemerintah tepatnya bahwa untuk mengkaji kembali kedudukan filsafat belajar dan pedagogi yang selama ini sudah dijargonkan yakni "Merdeka Belajar'" tetapi rekonstruksi ulang secara sungguh-sungguh. Dan juga pesan kepada guru, sebaik apapun kurikulum yang didesain, jika tidak ada niat dan semangat untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat maka kurikulum tersebut hanya sebatas wacana dan konsep bahkan tidak akan mempengaruhi perbaikan pendidikan yang kompleks ini. Sehingga peradaban yang dicita-citakan akan jauh dapat dicapai. Yuk bersama-sama miliki semangat jiwa pembelajar sepanjang hayat.
👍👍
BalasHapus