Alhamdulilah Ramadhan ke 26 sudah terlewati, hari ini penulis seharian dirumah saja karena ingin istirahat dari rutinitas yang biasanya padat. Jadi penulis isi aktivitas dengan membaca buku saja yang berjudul "Pendidikan Rusak-Rusakan" karya Ki Darmaningtyas. Buku yang sangat progresif dan menimbulkan semangat sebagai pendidik menjadi makin ingin mengabdi kepada pendidikan dengan sentuhan sejarah yang sangat rinci sehingga membuat penulis bertambah wawasannya mengenai serba-serbi pendidikan. Para guru harus mempunyai buku ini di rak rumahnya, karena dapat membangunkan kita dari sekedar rutinitas mengajar saja.
Penulis tertarik dengan pernyataan beliau dihalaman awal mengenai subtansi pendidikan ketika alasan ayahnya menyekolahkannya yakni " Kalau kamu bisa baca tulis, kemudian pergi ke kota, kamu tidak perlu banyak bertanya, tapi cukup membaca papan nama atau plang petunjuk arah dan kamu tidak mudah ditipu" . Maknanya adalah hakikat pendidikan mengajarkan kemandirian dalam hidup kita, tidak banyak bergantung kepada orang lain, dan juga dapat menghindarkan diri kita dari proses pembodohan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita. Pendidikan yang kita miliki dapat membuat kita percaya diri sebagai manusia untuk hadir di tengah-tengah manusia yang lain tanpa adanya hambatan-hambatan fisik atau psikologis. Segala kekurangan fisik yang ada pada kita akan terhapuskan oleh pengetahuan yang kita miliki.
Bahkan diutusnya Rasulullah SAW ke muka bumi ini salahsatunya adalah memberantas kebodohan, baik pengetahuan maupun tingkah laku masyarakatnya. Dan ayat pertama kali yang turun kemuka bumi ini adalah perintah untuk membaca. Dari sini dapat kita lihat bahwa membaca adalah bagian dari pendidikan. Orang Islam harus berpendidikan. Semulia Rasulullah saja ketika bulan Ramadhan, malaikat jibril senantiasa turun ke muka bumi untuk mengecek pengetahuan Al Qur'an beliau maknanya adalah kita sebagai orang muslim/muslimah harus senantiasa belajar kepada ahlinya sepanjang hayat. Minimal adalah dengan membaca buku karena kita sebagai guru untuk menambah wawasan, dan yang paling utama adalah bisa membaca realitas sekitar dan dapat memberikan solusi yang aplikatif. Guru harus menjadi sumber solusi bagi permasalahan yang ada disekitarnya khususnya mengenai pendidikan.
Bangsa dan negara yang maju selalu menjadikan pendidikan sebagai basic pembangunan. Jeffrey Sachs mengatakan bahwa salah satu mekanisme dalam penuntasan kemiskinan adalah pengembangan human capital, terutama pendidikan dan kesehatan. Bagi Jeffrey, pendidikan adalah alat yang ampuh untuk memotong mata rantai kemiskinan di pedesaan (Kenya) dan di perkotaan (Mumbai, India). Dan disinggung di awal tadiddi bahwa penikan dapat membuat orang percaya diri, lebih didengar suaranya. Seperti yang baru-baru ini fenomena anak muda bernama Bima yang sedang menempuh kuliah di Australia mengkritik pemerintah provinsi Lampung melalui media sosialnya terkait jalanan di provinsi tersebut yang sangat jauh dari kata layak. Karena disamping membaca data dan realitas, hanya dengan persentasinya di Tiktok dapat membawa perubahan bagi Provinsinya walaupun ada tekanan dan intimidasi kepada orangtuanya dari pemerintah setempat Tetapi berkat keluasan wawasan dan keberaniannya perhari ini jalanan di Provinsi Lampung dengan cepatnya diperbaiki. Luarbiasa peran pendidikan dan media sosial pada zaman ini. Pendidikan harus menumbuhkan sikap yang kritis untuk membangun peradaban. Bukan malah membisu, berdiam diri, bahkan oportunis.
Termasuk didalam buku ini mengkritisi mengenai guru yang sudah sertifikasi dengan tunjangan profesinya tetapi makin tidak aktif, tidak kreatif, loyo,malas membaca, dan lain-lain. Padahal kita tahu bahwa tunjangan profesi itu diberikan untuk meningkatkan pengembangan diri guru tersebut dengan membelanjakan bahan-bahan informasi (koran, majalah, meningkatkan keterampilan menulis, dan buku yang bisa meningkatkan wawasan), tapi oknum guru lebih suka membelanjakannya untuk kebutuhan konsumtif. Masalah yang mereka perbincangkan di sekolah pun bukan masalah-masalah akademis, melainkan masalah-masalah sepele dalam kehidupan sehari-hari bahkan hanya menggosip belaka. Jika tunjangan fungsional itu tidak ada sedikit pun yang diinvestasikan untuk pengembangan diri guru, maka kenaikan tunjangan fungsional maupun gaji guru hingga 1000% pun sama sekali tidak akan berdampak pada perbaikan kualitas guru maupun pendidikan nasional, Tetapi justru akan merusak suasana pendidikan, oknum guru makin konsumtif dan makin malas, mereka cenderung memperbesar kreditnya untuk barang-barang konsumtif. Studu-studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2010) menunjukkan bahwa tunjangan profesi guru belum mampu meningkatkan prestasi guru, tetapi baru meningkatkan kesejahteraan guru.
Pengalokasian tunjangan profesi guru untuk kebutuhan konsumtif itu sebetulnya konsisten dengan perjuangan awal PGRI saat menuntut adanya tunjangan profesi guru, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Saat itu guru sering menjadi bahan ledekan, "Guru itu banyak pendapat, tetapi minim pendapatan". Sementara PNS lain yang non guru, "Sedikiy pendapat tetapi banyak pendapatan". jadi sejak awal tidak ada pretensi tunjangan profesi guru itu untuk meningkatkan kualitas guru. Menurut Ki Darmaningtyas memang sejak awal perjuangan perlu adanya tunjangan profesi guru adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, bukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jadi menurut pembaca apakah tunjangan profesi ini mubazir atau tidak ?
Disamping permasalahan tersebut, dibuku ini dikatakan bahwa maraknya kasus pada pelajar yang berkelahi, obat-obatan terlarang, atau hubungan seks pranikah itu tak lain karena media komunikasi masa lalu dengan masa sekarang jangkauan penyebaran informasinya sangatlah berbeda. Dulu belum ada media massa yang memberitakan. Kalaupun ada, amat terbatas, sehingga semua persoalan itu dilokalisasi dalam ruang dan waktu yang sangat terbatas pula dan hanya menjadi wacana komunitas kecil. Berbeda dengan zaman sekarang, jangkauan media massa sangat luas, apalagi media sosial nonstip 24 jam. Ini merupakan tantangan untuk para guru dan orangtua dimasa sekarang ini. Kasus yang disebutkan tadi itu semua merupakan fenomena lama. Hanya saja perkembangan yang ada sekarang semakin mempermudah akses remaja untuk memperoleh informasi dan menjadikan media sosial sebagai kiblat perilaku dirinya.
Dampak terbesar dari kehadiran generasi media sosial ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di kalangan remaja sekaligus pergeseran paradigma yang menjadi budaya. Budaya tersebut yang mengambil wacana seperti pakaian serba ketat, seksi, mahal-mahal, trendi, suka menyantap makanan cepat saji, suka yang serba instan, dan lain-lain. Fungsi guru pada masa sekarang dan mendatang adalah mengisi ruang-ruang kosong yang menjadi jarak antara realitas empiris dengan yang diidealkan. Bagaimana guru bisa berperan dalam mengubah kelemahan-kelemahan pada remaja mejadi kekuatan untuk masa depan ? Itulah tugas yang pas tapi sekaligus amat berat. Tugas ini memang berat, tetapi mau tidak mau harus dijalankan oleh guru agar mereka tidak kehilangan perannya. Disatu sisi guru harus menanamkan kesederhanaan, kejujuran, keterbukaan, dan konsistensi. Namun disisi lain, budaya media sosial penuh dengan manipulasi, kepura-puraan, kemewahan, dan konsumtif. Di satu sisi, guru harus mengajarkan kreatifivitas, sprotivitas, dan kemandirian. Namun disisi lain, budaya medsos memberikan kemudahan, jalan pintas, dan serba instan. Peran guru akan makin tersisih bila tidak mampu mengisi ruang-ruang kosong yang tidak mungkin terisi oleh televisi, media sosial lainnya seperti mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, percaya diri, profesionalisme, konsistensi, kerendahan hati, dan asketisme.
Adanya pergeseran fungsi guru itu konsekuensi logisnya adalah pergeseran peran guru. Jika dulu hingga sekarang peran mengajari, menggurui, dan sebagai makhluk serba bisa itu amat menonjol, sekarang dan kedepannya peran seperti itu bergeser menjadi lebih memberikan motivasi, inspirasi, fasilitasi, serta menjadi kawan dialog bagi murid. Sehingga dampaknya pameo lama yang menyatakan " Guru wajibe digugu lan ditiru"(Guru wajib dipercaya dan dicontoh) berubah menjadi " Guru iso digugu, ning ora perlu ditiru" (Guru bisa dipercaya, tapi tidak perlu dicontoh). Bisa dipercaya didepan kelas saat mengajar, tapi tidak otomatis dapat dipercaya diluar kelas, itu jika guru tidak mempunyai semangat pembelajar, tidak suka membaca, hanya memerintah saja, dan tidak bisa memberikan inspirasi teladan kepada muridnya, serta hanya sibuk melayani tuntutan birokrasi. Apakah kita masih bisa dikatakan guru yang digugu dan ditiru ? Yuk sama-sama refleksi.
Mengispirasi dan bermanfaat
BalasHapusBagus sekali ukuran jemarinya, pak. Apalgi tentang guru harus mengisi ruang kosong generasi. Sangat mengispirasiš
BalasHapus