Alhamdulilah hari ini Ramadhan ke 19 walaupun diberi oleh Allah berupa sakit berupa flu dan alergi tenggorokan, tetapi komitmen menulis harus tetap digelorakan. Karena 1 hal yang istiqomah itu lebih baik daripada 1000 karomah. Semoga selalu Allah jadikan diri ini istiqomah dalam melakukan kebaikan. Diantara hikmah sakit kali ini adalah menandakan bahwa manusia itu memiliki keterbatasan, jadi dia harus memiliki mental kehambaan yang tinggi dan tepat dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Itu pun wajibnya adalah hanya menghamba kepada Allah SWT.
Sebagaimana asal usul tujuan kita diciptakan sudah dijelaskan dalam Q.S Az-Zariyat ayat 56 " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku" . Kita harus berusaha penuh untuk mencapai kualitas hamba. Pada zaman sekarang ini kita bisa banyak belajar mengenai bab sebagai hamba dari sosok ulama kharismatik dari Banjarmasin yakni Almarhum Guru Zuhdianoor. Beliau adalah sosok yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai kehambaan kedalam perilaku sehari-hari. Didalam buku 111 Malam Sepenggal Nasihat Abah Haji (Guru Zuhdi) karya Diki Rifattama pada halaman 4 dikatakan ciri dan tanda orang shaleh adalah mereka punya hati dan merasa tidak punya apa-apa. Pangkat dan kemuliaan itu semua hanya milik Allah, sedangkan orang yang gila terhadap dunia akan merasa bahwa pangkat, kemuliaan kepunyaannya, seakan-akan karena kerja kerasnya sendiri ia mendapatkannya. Itulah ciri tanda orang yang bodoh walaupun dia kaya dan berpangkat di dunia.
Beliau juga berkata para auliya Allah itu kebal terhadap pujian makhluk dan hinaan makhluk, mereka tidak merasa itu semua tertuju padanya, namun mereka merasa itu semua hanya pantas ditujukan kepada Allah SWT. Mereka berbuat karena Allah, mereka tidak pernah berharap kepada makhluk, sedangkan kita yang orang awam sering berbuat dan berharap kepada makhluk. Ini sebagai tamparan bagi penulis agar bisa biasa saja menghadapi segala pujian dan hinaan, walaupun itu perlu latihan sepanjang hayat, tapi harus dimulai dari sekarang agar segala pujian tidak membuat diri ini terbang, dan segala hinaan yang menerpa tidak akan membuat diri ini tumbang. Semoga Allah memberikan hal tersebut kepada kita. Seandainya diri kita dihina oleh orang lain lalu kita marah dan tersinggung, maka itu tanda bahwa diri kita masih menginginkan adanya pujian, atau dengan kata lain masih belum bisa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
Pada halaman 8 dikatakan seorang hamba yang sadar dirinya lah hamba yang mengakui bahwa setiap perbuatannya adalah pertolongan dari Allah, artinya tanpa pertolongan Allah , maka kita tidak bisa melakukan apa-apa, begitu juga ibadah, contohnya shalat yang pada hakikatnya Allah lah yang memberi pertolongannya kepada kita sehingga kita dapat beridiri, membaca Al Fatihah, rukuk, dan sebagainya adalah bentuk pertolongan Allah dan kita sebagai hamba wajib mengakui itu semua. Jangan menjadi hamba yang bodoh atau tidak sadar diri, yang mengakui setiap perbuatannya termasuk ibadah adalah kerja kerasnya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa termasuk Allah, itu adalah hamba yang bodoh.
Pada halaman 11 beliau mengatakan sifat sombong muncul karena ada sifat memiliki di dalam diri, contohnya ia merasa kaya karena memiliki harta, ia merasa alim karena memiliki ilmu, seharusnya itu semua bukan kepunyaan kita, melainkan kepunyaan yang menciptakan kita yakni Allah SWT. Dengan rajin bersyukyr dapat menghilangkan sifat sombong tersebut. Karena yang berhak menggunakan sifat sombong tersebut adalah Allah SWT, sedangkan makhluk memang memiliki potensi tersebut tetapi tidak untuk digunakan kecuali beberapa perkara ketika kita bersikap sombong kepada orang yang sombong terhadap kita itu adalah shodaqoh. Termasuk orang yang sombong ketika mendapat kenikmatan dari maksiatnya maka kita wajib sombong kepada mereka dengan versi ketaataan.
Pada halaman 38 dikatakan jangan pernah bertanya kenapa diperintahkan Allah melakukan sesuatu yang diperintah-Nya, jangan pernah banyak tanya terhadap perintah Allah, tugas kita sebagai hamba adalah melaksanakannya dan mencoba memahaminya, karena pasti pada hakikatnya dalam perintahnya tersebut pasti terkandung hikmah yang sangat besar, yang pastinya juga sangat bermanfaat bagi kita, tidak mungkin Allah memerintahkan sesuatu yang tidak berguna bagi kita.
Imam Abul Hasan Asyadzily berkata latih hati kita agar tidak pernah bergantung kepada siapapun kecuali Allah, karena makhluk pada dasarnya bergantung kepada penciptanya bukan sesama makhluk, yang kedua ungkapkan dalam diri kita sifat kehambaan yang sesungguhnya, yakni dengan mematuhi apa saja yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, karena pada dasarnya hamba adalah sesuru tuannya dan kita adalah hamba dengan kata lain adalah sesuruhannyta Allah, seandainya dalam diri kita menyangkal karena kita disebut sesuruhan Tuhan, maka kita masih menyimpan pengakuan diri dalam diri kita dan hendanya hilangkan sifat tersebut.
Barangsiapa yang masih merasa bila dapat nikmat dia senang dan bila dapat musibag dia sedih, maka dapat diputuskan dia masih belum bisa dikatakan sebagai hamba Allah. Bagi orang yang benar-benar hamba Allah dia tidak membedakan antara nikmat dan musibah karena dipandangnya sama dan tetap diterimanya dengan ikhlas karena itu semua berasal dari Allah. Seorang hamba hendaknya ikhlas dengan segala keadaan dan tidak mengharapkan apa-apa kecuali ridhanya Allah. Maka dari itu disebutkan nikmat dan musibah adalah ujian dalam membuktikan apakah kita benar-benar seorang hamba atau bukan. Seperti sakit yang penulis rasakan ini, karena ilmu ini penulis melihat bahwa sakit yang dirasakan ini sesungguhnya adalah nikmat, mengapa nikmat ? karena dia adalah perantara kita untuk menghapus segala dosa-dosa yang kita telah kita perbuat baik disengaja maupun tidak sengaja. Semoga kita semua termasuk hamba Allah SWT yang paripurna dan bisa mencapai kedudukan hamba yang hakiki...Amiiin.
GWS,
BalasHapus